Kota Bandung, Cybernusantara1.id -Telah di laksanakan kegiatan siaran Hallo Polisi disalah satu radio ternama di Kota Bandung bertempat di ruang kerja Bid Humas Polda Jabar dan studio RRI bandung pro 1 fm 97.6, dengan pemandu acara penyiar RRI Bandung Sdri. Yani Sosiani bersama narasumber Dr. Anang Usman, S.H., M.Si. (Advokat Madya Bidang Hukum Polda Jabar), Kamis (28/7/2022).
Dr. Anang Usman S.H., M.Si selaku narasumber menjelaskan bahwa apakah POLEMIK di seputar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah Lex Spesialis (hukum yang khusus) ataukah bukan, sampai kini belum tuntas. Bahkan yang lebih spesifik lagi penggunaan hak tolak (verschoningsrecht) juga masih menjadi perdebatan.
Di satu sisi ada yang mendesak wartawan untuk menyebutkan sumber berita; di sisi lain sang wartawan menolak untuk menyebutkan sumber berita dengan alasan wartawan mempunyai hak tolak. Hak imunitas ini di berikan bukan hanya kepada wartawan, namun juga profesi lainnya, misalnya advokat atau dokter. Dokter berhak untuk tidak menyebutkan jenis penyakit yang di derita pasiennya demi alasan kerahasiaan.
Jika seorang dokter dapat begitu saja mengumumkan penyakit seseorang, kata A Muis (1999:93) mungkin orang akan malas berobat karena takut jenis penyakitnya akan di ketahui banyak orang.
Seorang advokat juga begitu dia memiliki hak imunitas atau kekebalan, misalnya pada Pasal 16 UU No 18/2003 tentang Advokat, di sebutkan bahwa seorang advokat tidak dapat di tuntut, baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien. Demikian juga dengan seorang wartawan, ia berhak untuk menolak menyebutkan sumber berita (news resources).
Sejarah pers dan hukum pers di Tanah Air sebenarnya sudah cukup panjang. Seperti di ketahui, sejak awal peraturan pers di buat adalah untuk melindungi kepentingan penjajah kolonial. Oleh sebab itu di buatlah peraturan-peraturan oleh Pemerintah Belanda yang mengekang pers dan menindas para pejuang kemerdekaan. Misalnya ketentuan tentang delik pers di buat sangat ketat dan karenanya banyak di kaitkan dengan ketentuan hatzaai-artikelen atau pasal-pasal penyebar kebencian dalam KUHP.
Ketentuan tentang delik pers ini kemudian di rumuskan oleh dua ilmuwan hukum Belanda, yakni oleh WFC Van Hattum yang menyebut delik pers sebagai misdrijven door middle van de druk pers gepleegd atau kejahatan yang di lakukan dengan pers.
Yang kedua adalah Hazewingkel Suringa yang mengatakan bahwa delik pers adalah penghasutan, penghinaan, atau pencemaran nama baik yang di lakukan dengan barang cetak.
Telah banyak para pendiri republic ini yang di jerat oleh ketentuan hukum pers colonial, sebagai contoh Ki Hajar Dewantoro. Karena tulisannya di koran De Express yang berjudul AlsIk, een Nederlander Was (Seandainya Saya Orang Belanda) tanggal 20 Juli 1913 ia harus di kucilkan dan di penjara. Ki Hajar mengkritik orang Belanda yang merayakan kemerdekaannya di Indonesia. Ki Hajar mengatakan, kaum colonial Belanda itu tidak pantas berpesta pora justru di negeri jajahan.
Sejak di cabutnya ketentuan tentang SIUPP dan pers di bebaskan, maka pers benar-benar menikmati kemerdekaannya.
Namun, belakang ini kebebasan dan kemerdekaan pers mulai agak terganggu. Mekanisme yang tersedia seperti hak jawab (right to hit back) tak di pergunakan oleh mereka yang merasa nama baiknya tercemarkan.
Sebenarnya orang yang nama dan reputasinya sudah jelek di mata masyarakat, lalu di beritakan oleh media massa, ini namanya bukan “pencemaran nama baik”, tetapi “penginformasian perilaku tercela”. Kini pers banyak di gugat.
Selama kampanye ataupun Pemilu 2004 ini boleh jadi juga akan banyak gugatan terhadap pers karena pencemaran nama baik misalnya. Kecenderungan seperti ini dapat menimbulkan ketakutan di kalangan wartawan untuk merdeka menulis.
Jika hal seperti ini keterusan, maka yang rugi adalah masyarakat sendiri, sebab pers kata E Lloyd Sommerland adalah a spokesman for the public at large (1966:156) dan karenanya berita-beritanya di tunggu oleh publik.
Terlebih lagi solidaritas pers tidak terlalu kuat pada saat ini. Seolah-olah ada pikiran, selama penerbitan pers yang di gugat atau di jatuhi hukuman bukan penerbitannya, maka tak terlalu ambil pusing. Bukan tidak boleh pers di gugat di pengadilan, dan pers memang harus profesional. Dan wartawan dapat saja melakukan kesalahan karena mereka bukanlah malaikat.
Hanya masalahnya, tekanan fisik terhadap pers cenderung meningkat. Misalnya wartawan di pukul, kantornya di lempari batu, dan lain sejenisnya. Lebih tragis lagi ketika perkara pers di bawa ke pengadilan, lalu lembaga pengadilan menjatuhkan putusan secara berlebihan dan tanpa alasan hukum yang memadai. Maka, dapat di mengerti kalau pengadilan dalam perkara pers di anggap turut melakukan terror terhadap pers.
Hukum pers yang ada saat ini memang masih banyak mengandung kelemahan. Perlu kiranya di buat hukum pers yang aspiratif. Bukan hanya hukum pers yang dapat menghukum dan memberi denda. Demikian juga tidak boleh ada kriminalisasi terhadap karya jurnalistik.
“Berbagai ketentuan tentang pers mesti di koordinasikan dan di sinkronkan. Peraturan pelaksana dari UU Pers yang masih belum ada dan di perlukan harus segera di buat. Karenanya, perlu di dukung usulan Dewan Pers kepada Mahkamah Agung agar mengeluarkan surat edaran MA atau mungkin lebih tepatnya peraturan MA yang menegaskan posisi UU No 40/1999 tentang Perssebagai Lex Spesialis.
Selanjutnya, mereka yang terlibat dalam legal drafting pembuatan peraturan yang berkenaan dengan pers, termasuk aparat penegak hukum, haruslah benar-benar mengerti tentang hokum pers dan sejarah pers. Jika tidak, maka hukum pers hanya akan mengalami tambal sulam dan penegakan hukumnya akan banyak mengalami manipulasi dan distorsi,” tutup Narasumber.
(Sumber Bid Humas Polda Jabar)