Sebuah Renungan Etis, Filosofis, dan Pedagogis Dr. Ahmad Sukandar, S.Ag, M.MPd (Ka. Prodi S2 PAI SPs. Uninus)
Antara Teknologi dan Spiritualitas dalam Pendidikan Islam
Kemajuan teknologi telah membawa kita ke ambang era baru, di mana Artificial SuperIntelligence (ASI) bukan lagi sekadar konsep futuristik, tetapi mulai menjadi realitas yang dapat membentuk pola pikir, perilaku, dan sistem pendidikan manusia.
Dalam konteks Pendidikan Agama Islam (PAI), pertanyaannya bukan sekadar apakah ASI akan digunakan, tetapi sejauh mana ia akan berdampak terhadap nilai-nilai Islam, epistemologi keilmuan, dan proses pendidikan yang diwariskan sejak zaman Rasulullah SAW.
Teknologi ASI menawarkan berbagai peluang luar biasa, mulai dari pembelajaran adaptif berbasis AI, analisis big data dalam pendidikan, hingga otomatisasi kurikulum. Namun, di balik semua itu, muncul pertanyaan mendalam diantaranya :
Bisakah ASI memahami dimensi spiritual manusia?
Apakah teknologi ini akan mendukung peran guru atau justeru menggantikannya?
Bagaimana memastikan bahwa pendidikan Islam tetap berpegang pada nilai-nilai etika, hikmah, dan maqashid syariah?
Artikel ini akan mengeksplorasi dimensi etis, filosofis, dan pedagogis dari pemanfaatan ASI dalam pendidikan Islam, mengajak semua pihak—dari ulama, akademisi, guru, hingga pengambil kebijakan—untuk turut serta dalam merancang masa depan pendidikan agama yang tetap berlandaskan nilai-nilai Islam tanpa menutup diri dari kemajuan teknologi.
A. Dimensi Etis:
Keadilan, Privasi, dan Nilai Islam dalam Teknologi ASI
Dalam Islam, ilmu dan teknologi selalu diarahkan pada kesejahteraan umat manusia (maslahah), bukan sekadar kemajuan material semata. Oleh karena itu, dalam implementasi ASI dalam PAI, ada beberapa aspek etis yang harus dikaji secara mendalam:
1. Keadilan dan Aksesibilitas
Teknologi ASI berpotensi meningkatkan kesenjangan digital dalam dunia pendidikan Islam. Sekolah dan madrasah di perkotaan mungkin lebih siap mengadopsi teknologi ini, sementara pesantren di pedalaman bisa tertinggal jauh.
Bagaimana memastikan distribusi yang adil?
Apakah ada kebijakan afirmatif agar teknologi ini tidak menjadi alat eksklusif bagi mereka yang memiliki akses finansial lebih baik?
2. Privasi dan Keamanan Data
ASI bekerja dengan mengolah data besar (big data)dari pengguna. Jika diterapkan dalam sistem pendidikan Islam, hal ini dapat memunculkan pertanyaan: Bagaimana melindungi data santri dan mahasiswa agar tidak disalahgunakan?
Dalam Islam, privasi adalah hak fundamental yang harus dijaga. Oleh karena itu, regulasi ketat terkait keamanan data dalam ekosistem ASI perlu dikembangkan.
3. Autonomi dan Ketergantungan pada ASI
Sejauh mana ASI boleh mengambil peran dalam pendidikan Islam?
Apakah ia boleh menentukan kurikulum, menggantikan peran guru, atau bahkan memberikan fatwa?
Dalam Islam, otoritas keilmuan tidak hanya didasarkan pada kecerdasan intelektual, tetapi juga pada kebijaksanaan (hikmah) dan pengalaman spiritual (ma’rifah).
Oleh karena itu, meskipun ASI bisa menjadi alat yang sangat berguna, ia tidak boleh menggantikan peran ulama, kyai, dan guru sebagai pembimbing ruhani umat.
B. Dimensi Filosofis:
Ilmu, Hikmah, dan Spiritualitas dalam Pendidikan Islam pendidikan Islam tidak hanya berbicara tentang transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter dan jiwa (tarbiyah ruhiyyah).
ASI mungkin mampu menganalisis kitab-kitab klasik, tetapi bisakah ia memahami hikmah dan nilai transendental dibaliknya?
1. Epistemologi Islam vs. Pemrosesan Data ASI
Dalam Islam, ilmu diperoleh melalui berbagai sumber:
a. Ilmu indrawi (empiris) – diperoleh melalui pengalaman dan observasi.
b. Ilmu rasional (‘aqli) – diperoleh melalui analisis logis dan argumentasi.
c. Ilmu wahyu (naqli) – diperoleh dari Al-Qur’an dan Hadist.
d. Ilmu laduni (hikmah batin) – diberikan langsung oleh Allah Kepada hamba-nya yang terpilih.
ASI hanya bekerja pada tiga kategori pertama, tetapi tidak mampu mengakses ilmu laduni dan dimensi spiritual yang menjadi ciri khas pendidikan Islam.
Bisakah ASI memahami keberkahan dalam ilmu?
Bisakah ia mengajarkan keikhlasan dan akhlak mulia sebagaimana seorang guru sejati?
2. Ontologi:
Hakikat Kecerdasan dan Fitrah Manusia Dalam Islam, manusia adalah makhluk yang diberi akal dan hati, bukan hanya sekadar pemroses data. ASI mungkin bisa menjadi “lebih pintar”, tetapi bisakah ia memiliki kebijaksanaan (hikmah)?
Hikmah dalam Islam bukan sekadar kecerdasan, tetapi juga pemahaman mendalam tentang makna kehidupan, hubungan dengan Allah, dan tanggung jawab moral Sebagai hamba-ny
ASI, secerdas apa pun, tetaplah produk buatan manusia yang tidak memiliki kesadaran ruhani.
C. Dimensi Pedagogis:
ASI dalam Metodologi Pendidikan Islam. Bagaimana cara mengintegrasikan ASI dalam pendidikan Islam tanpa kehilangan esensi pendidikan tradisional?
1. ASI sebagai Pendukung, Bukan Pengganti Guru
a. ASI dapat membantu dalam otomatisasi kurikulum dan personalisasi pembelajaran. b. ASI dapat digunakan dalam sistem evaluasi dan asesmen berbasis data besar. c. Namun, ASI tidak boleh menggantikan interaksi langsung antara guru dan murid.
Dalam Islam, keberkahan ilmu datang melalui hubungan antara murid dan guru (sanad). Sebagaimana dalam tradisi pesantren, seorang santri tidak hanya belajar dari kitab, tetapi juga dari adab dan akhlak gurunya. Inilah yang tidak dapat diajarkan oleh ASI.
2. Penguatan Metode Tradisional dengan Teknologi ASI dapat digunakan untuk membantu dalam pembelajaran tafsir, fiqh, dan hadits secara interaktif. Namun, metode klasik seperti halaqah, sorogan, dan bandongan harus tetap dipertahankan sebagai bagian dari pendidikan Islam.
Sebagaimana Nabi Muhammad SAW mendidik para sahabat dengan penuh kelembutan dan kebijaksanaan, pendidikan Islam masa depan harus tetap mempertahankan pendekatan humanis dan berbasis hikmah, meskipun teknologi berkembang pesat.
Kesimpulan:
Masa Depan Pendidikan Islam di Era ASI adalah alat yang luar biasa, tetapi ia tetap harus berada dalam kendali nilai-nilai Islam. Pendidikan Agama Islam harus terus berkembang, tetapi tidak boleh kehilangan esensi spiritual, nilai etis, dan dimensi hikmah yang menjadi ciri khasnya.
Kita semua—para ulama, akademisi, guru, dan pengambil kebijakan—harus duduk bersama dan merancang strategi yang tepat agar teknologi tidak menjadi ancaman, tetapi justru menjadi sarana untuk memperkuat nilai-nilai Islam dalam pendidikan.
Apakah kita siap menghadapi masa depan ini dengan bijaksana?
Mari bersama-sama memikirkan bagaimana ASI bisa menjadi rahmat bagi pendidikan Islam, bukan sekadar instrumen teknologi tanpa jiwa.
Referensi:
1. Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din
2. Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim
3. Nasr, S. H. (1996). Science and Civilization in Islam
4. Heidegger, M. (1977). The Question Concerning Technology
5. Vygotsky, L. S. (1978). Mind in Society
Terimakasih Buya, saya setuju kita tidak boleh tergantikan oleh teknologi namun bisa memanfaatkan perkembangan teknologi untuk membangun sebuah sistem pendidikan yang lebih baik. “Al ulama warasut anbiya” seorang yang ber ilmu adalah pewaris para Nabi sehingga keberkahan dari Ustadz, Guru, Dosen dan orang tua yang membimbing anak-anaknya tidak bisa tergantikan oleh Teknologi tersebut.