Pekan ini wacana penundaan pemilu mencuat diperbincangkan di ruang publik. Ada sisi lain yang seolah terlewatkan dari perhatian publik (kita), yaitu perilaku komunikasi juru bicara (Jubir) kelembagaan yang ikut mengambil bagian.

Dari aspek komunikasi, suatu keharusan bagi Jubir profesional menyampaikan pandangan dan atau tanggapannya hanya terkait tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) yang dilakukan dengan profesional oleh pimpinan (menteri) dan atau lembaga (kementerian) yang diwakilinya.

Jika di luar Tupoksi tersebut, Jubir masih belum memahami secara paripurna hakekat profesi Jubir. Karena itu, Jubir yang bersangkutan masih harus belajar (kuliah) aksiologi komunikasi sebagai bagian filsafat ilmu komunikasi kepada para komunikolog handal secara serius dan intensif.

Salah satu tujuannya memahami aksiologi komunikasi agar jangan sampai terjadi profesi Jubir segala urusan.

Misalnya, terkait dengan kepemiluan, seperti penundaan atau boleh jadi percepatan pemilu, lebih tepat dan profesional disampaikan oleh Jubir kementerian yang mengurusi pemerintahan dalam negeri, misalnya Kemendagri dan atau Kemenko yg menangani bidang politik, seperti Kemenkopolhukam, bukan Kementerian dan atau Kemenko yang lain.

Oleh sebab itu, saya sangat “bangga” dengan kementerian yang mengurusi pemerintahan dalam negeri dan kemenko bidang politik seolah “menghormati” teman sejawatnya yang diberitakan memperbincangkan penundaan pemilu yang sama sekali bukan Tupoksinya. Sangat menarik untuk mengetahui makna mendalam dari “menghormati” tersebut.

Jubir bukan pembela tindak tanduk pimpinan (menteri) dan instansinya. Tetapi berperan sebagai jembatan komunikasi antara pimpinan dan atau lembaga (kementerian) dengan publik sebagai pemangku kepentingan.

Karena itu, Jubir merupakan pekerjaan profesional, bukan memposisikan sosoknya seolah pemilik instansi, apalagi menempatkan dirinya sebagai “pesuruh” bidang komunikasi dari pimpinan dan institusinya. Untuk itu, Jubir profesional antara lain harus berani dan wajib berperan “penasehat” komunikasi bagi pimpinan dan lembaganya, bukan “ekor” (terompet) komunikasi dari pimpinan dan lembaga tempat ia bekerja.

Peran penasehat komunikasi tersebut sangat penting dalam rangka “menyelamatkan” instansi dan pimpinannya (menteri) dari serangan opini publik yang tidak produktif. Sebab, opini-opini publik akan mengalir liar seperti banjir bandang yang tidak bisa dikendalikan dengan sehebat apapun bantahan maupun minta maaf di ruang publik. Sama dengan sifat efek komunikasi, opini publik yang sudah terjadi tetap berbekas dalam peta kognisi setiap individu yang terdedah (terkena) oleh perbincangan yang membentuk opini publik tersebut.

Dasar berpikirnya dari konsep status dan peran dalam sosiologi.

Dalam konsep status dan peran, jika seseorang (Jubir) berperan sesuai dengan statusnya dipastikan cenderung terjadi keteraturan sosial. Inilah yang diinginkan oleh setiap warga negara dalam bernegara.

Sebaliknya, ketika seseorang berperan tidak sejalan dengan statusnya pasti terjadi disorder (kekacauan) komunikasi/sosial. Kekacauan komunikasi, cepat atau lambat dapat menggerus reputasi dan atau kepercayaan masyarakat kepada rezim pemerintahan yang sedang berkuasa.

Oleh sebab itu, sudah berulangkali saya kemukakan di ruang publik agar sesegera mungkin dilakukan perbaikan manajemen komunikasi publik pemerintah. Sebab, menurut hemat saya, sampai saat ini penanganan komunikasi publik pemerintah belum terkelola dengan baik dan profesional.

Karena itu, sebagai seorang komunikolog yang punya otoritas dan tanggung jawab keilmuan komunikasi, saya tidak lagi menghimbau tetapi meminta para Jubir di Indonesia supaya melakukan tugasnya secara tepat dan profesional, agar Kemuliaan profesi Jubir tetap terjaga dengan baik.

 

(Sumber Feri Rusdiono/Veronica)

By Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *